Perseteruan HAMKA dan Pramudya Ananta Toer di zaman PKI telah lewat, namun kini ada yang menghidupkan lagi baranya....
Ilustrasi/IstimewaKetika saya melihat buku
"Aku Mendakwa Hamka Plagiat – Skandal Sastra Indonesia 1962-1964", yang
terbit bulan September 2011, setebal 238 halaman, Penerbit Seripa
Manent & Merakesumba, saya langsung membacanya. Saya tidak mengerti
mengapa buku ini diterbitkan. Apa maksud penulis Muhidin M. Dahlan
mengungkapkannya lagi di hadapan khalayak.
Saking memendam amarah, saya
mengatakan tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya si penulis
tersebut, karena identitasnya tidak ada, bahkan banyak di antaranya
meraba-raba siapa Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan
kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggungjawab di dalamnya.
Harian Rakjat, media Lekra, PKITulisan
saya di facebook itu hanyalah sebuah pancingan, atau sebuah trik,
karena saya menganggap apa manfaatnya buat generasi muda mengungkit
kembali hal-hal yang masih abu-abu di masa itu. Belum jelas dan masih
dalam polemik. Ternyata trik saya benar, dan kemudian barulah saya
menulis untuk kedua kalinya berjudul: "Inilah Inti Tulisan Saya tentang
Hamka."
Trik-trik seperti ini saya pelajari dari Burhanudin Mohamad Diah (B.
M. Diah) ketika saya menulis buku beliau "Butir-butir Padi B. M. Diah,
Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman" (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992).
Ia mengatakan: "Bung Dasman, jika ingin mengetahui siapa lawan kita
sebenarnya, biarkan dia ke luar dulu dari sarangnya." B. M. Diah adalah
tokoh pers, diplomat, dan pada malam 17 Agustus 1945 ikut hadir bersama
Bung Karno-Hatta menyaksikan penyusunan naskah proklamasi, di Rumah
Laksamana Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang. Beliau juga berpengalaman
berpolemik antara surat kabarnya Harian Merdeka dengan Harian Rakjat,
Juni-Juli 1964.
Ilustrasi/IstimewaHarian
Merdeka merupakan koran perjuangan yang lahir 1 Oktober 1945, dan
sangat anti Partai Komunis Indonesia (PKI). Hamka pernah menjadi
koresponden Harian Merdeka. Sementara Harian Rakjat lahir pada 1951.
Media resmi Partai Komunis Indonesia itu berkantor di Jalan Pintu Besar
Nomor 93, Jakarta, dengan direksi/penanggung jawab/redaksi Mula Naibaho.
Wakil Ketua II CC PKI, Njoto, menjadi pemimpin redaksi media ini, dan
Supeno menjadi anggota dewan redaksinya. Njoto sering menulis editorial,
pojok atau kolom.
Buku tulisan Muhidin M. Dahlan ini hanya mengulang peristiwa bulan
September 1962, yang menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya
"Tenggelamnya Kapal Van der Wijk" (1938), dan sudah dicetak sebanyak 80
ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari novel "Magdalena",
yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942),
dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, "Sous les
Tilleuls".
Lekra bangkit kembali?Saya
menulis lagi: "Perlu kita pahami, polemik di sekitar tahun itu
(1962-1964) tidak murni lagi polemik sebagaimana seorang ilmuwan.
Polemik sudah mengarah ke fitnah, adu domba, sebagaimana sifat warga
komunis di Indonesia yang benci dengan Islam. Perlu diketahui, bahwa
Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI juga waktu itu
menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Jadi
persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke
perbedaan yang amat jelas antara PKI dan Islam. Jadi, tidak ada yang
baru dengan buku ini. Polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya
Pemberontakan PKI tahun 1965. Saya sependapat dengan pernyataan H. B.
Jassin: "Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis
persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi jelas Hamka menimba dari
sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Maka, adalah terlalu
gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di
Senen."
Jassin juga menegaskan, bahwa novel Van der Wijck membahas masalah
adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar.
Kritikus sastra asal Belanda, A. Teeuw menyatakan, bahwa Van der Wijck
sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.
Muhidin M. Dahlan, bersama Rhoma Dwi Aria Yuliantri, menggali 'kuburan' Lekra.Awal
tahun 1963, dunia sastra kita memang digemparkan oleh dua surat kabar
harian ibukota: Harian Rakjat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran
milik komunis ini, menyiarkan di halaman pertama, dengan berita
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan oleh pengarang Hamka.
Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin.
Sedangkan di harian Bintang Timur, dalam lembaran Lentera, juga memuat
dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang
Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh
Pramudya Ananta Toer.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, cinta sejarah, bersama Muhidin M. Dahlan menulis trilogi Lekra.Dalam buku "Kisah-kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka," yang ditulis oleh puteranya Hamka, Irfan Hamka, dinyatakan:
"Berbulan-bulan lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan
tulisan-tulisan berbau fitnah, juga menyerang secara pribadi. Aku lihat
ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin
dan Pramudva Ananta Tur itu. Penulis waktu itu sekolah di SMAN IX
merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku seorang guru PGRI
Vak Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya mengejek selalu
menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa
panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya
dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang
sengaja dikirim ke rumah secara gratis."
Lewat buku ini Irfan Hamka mengungkap tentang ayahnya, Lekra, dan Pramudya Ananta Toer.Selanjutnya,
Irfan Hamka menulis: "PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September
1965, namun gagal. Dalam usaha kup itu, 6 jenderal dan 1 perwira gugur,
dibunuh PKI. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu
diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur
ditahan di Pulau Buru. Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur
dibebaskan, kemudian melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah
berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah,
di kedua koran Komunis itu. Suatu hari, ayah kedatangan sepasang tamu.
Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang keturunan Cina.
Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan
si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti
menyatakan bahwa dia anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani
Daniel menemui ayah untuk masuk Islam, sekaligus mempelajari agama
Islam. Selama ini Daniel non muslim. Pramudya tidak setuju anak
perempuannya yang muslimah nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur
dan beragama lain.
"Hanya sebentar ayah berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan
permohonan kedua tamu itu dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon
menantu Pramudya Ananta Tur langsung di-Islam-kan oleh ayah dengan
menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan Daniel
berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada
ayah. Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya
itu, ayah tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah
yang pernah terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah
dihancurkan nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis
di harian Bintang Timur dan Harian Rakyat."
Pramoedya Ananta ToerKembali
Irfan Hamka menulis: "Salah seorang teman Pramudya bernama Dr. Hudaifah
Kuddah menanyakan kepada Pramudya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon
menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjawab: "Masalah faham
kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami
dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya
belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang ulama
yang terbaik."
Menurut Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus
2006, secara tidak langsung tampaknva Pramudya Ananta Tur dengan
mengirim calon menantu ditemani anak perempuan seakan minta maaf atas
perilakunya memperlakukan ayah di Harian Bintang Timur dan Harian
Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramudya Ananta
Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam
kepada sang calon menantu.
Komentar