SAAFROEDIN BAHAR TENTANG BUKU: "RAIS ABIN, PANGLIMA PASUKAN PERDAMAIAN PBB DI TIMUR TENGAH 1976-1979."
Sebuah
Studi Kasus tentang Kepemimpinan Militer
Dr.
Saafroedin BAHAR
(Brigjen/Purn, Anggota Badan Pengkajian Pengurus Pusat Persatuan Purnawirawan
TNI-Angkatan Darat/PPAD,Jakarta.Makalah ini disampaikan pada hari Rabu, 12
Desember 2012 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta dalam
Acara Diskusi Buku: “Rais Abin, Mission Accomplished: Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David,” yang ditulis Dasman Djamaluddin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas).
Acara Diskusi Buku: “Rais Abin, Mission Accomplished: Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David,” yang ditulis Dasman Djamaluddin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas).
Sebagai pembuka kata, izinkanlah saya menyampaikan bahwa
buku yang berjudul “ MISSION ACCOMPLISHED: Mengawal Keberhasilan Perjanjian
Camp David” ini merupakan buku yang terbitnya tepat waktu, yaitu pada saat kita
sedang galau oleh karena mengalami demikian banyak missions unaccomplished dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Banyak pengamat yang menengarai bahwa salah satu sebab dari missions unaccomplished ini adalah
masalah kepemimpinan.
Buku ini memuat paparan yang jelas tentang seni komando
dan staf dalam menyelesaikan berbagai tugas yang diemban oleh Bapak Letnan
Jenderal Purnawirawan Rais Abin – selanjutnya akan disebut sebagai Bapak Rais
Abin -- sejak dari tugas sebagai
Panglima UNEF dalam tahun 1976 sampai dengan tugas sebagai Ketua Umum Legiun
Veteran RI dan Presiden Veterans Confederations
of ASEAN Countries (VECONAC)
sekarang ini. Di halaman depan
tercantum jelas maksud penulisan buku ini, yaitu “ Semoga buku ini berguna bagi
generasi penerus TNI, penerus bangsa, dan kejayaan Pancasila”.
Adalah jelas bahwa buku ini akan memperkaya khazanah
literatur tentang kepemimpinan yang demikian kita perlukan, baik tentang
kepemimpinan TNI maupun tentang kepemimpinan nasional pada umumnya. Sudah
barang tentu, kepemimpinan TNI -- yang menjadi latar belakang professional
Bapak Rais Abin -- akan menjadi tumpuannya. Oleh karena itulah saya memilih
subtitle “ Sebuah Studi Kasus tentang Kepemimpinan Militer” untuk tanggapan
ini, oleh karena sisi inilah yang saya pandang sangat menarik dari buku ini.
Bidang tugas yang ditangani oleh Bapak Rais Abin dan
diulas demikian jernih dalam buku ini,
bukanlah hanya berkenaan dengan bidang militer - termasuk dalam apa yang
sekarang disebut sebagai military
operations other than war – tetapi juga tugas diplomatik dan tugas sipil.
Saya percaya bahwa istilah mission accomplished adalah istilah yang paling melegakan dalam
kamus professional militer, yang menunjukkan bahwa missi yang dibebankan oleh
komando atasan, telah ditindaklanjuti oleh komando bawahan dengan perencanaan
yang rapi, pelaksanaan yang terorganisasi dengan jelas, dukungan logistik yang
cukup, kepemimpinan yang berwibawa,
serta sasaran yang telah tercapai. Secara a
contrario dapat dikatakan bahwa keadaan yang sebaliknya – unaccomplished mission – menunjukkan
bahwa missi yang dibebankan oleh komando atasan tidak tercapai, antara lain
oleh karena perencanaan yang tidak rapi, pelaksanaan yang tidak terkendali
dengan baik, kepemimpinan yang tidak berwibawa, serta sasaran yang tidak
tercapai.
Masalah kepemimpinan merupakan masalah paling sentral dalam
dunia militer, oleh karena menang atau kalah, tercapai atau tidak tercapainya
missi sangat tergantung pada kepemimpinan komandan. Untuk memahami esensi
kepemimpinan militer, serta perbedaannya dengan kepemimpinan [ sipil ] secara
umum, bermanfaat kiranya jika kita menoleh sebentar kepada cirri khas profesi
militer itu sendiri.
Ciri
Khas Profesi Militer.
Rasanya perlu kita sadari adanya perbedaan mendasar
antara profesi militer dengan profesi non-militer, yaitu bahwa profesi militer
– yang terkait dengan perang dan kekerasan – tidak dapat dipraktekkan setiap
hari. Pada dasarnya, profesi militer dalam keadaan damai berada dalam keadaan
siaga (standby). Kapan dan di mana
profesi militer itu akan dioperasikan, sesuai dengan prinsip civil atau civilian supremacy,
tergantung pada keputusan politik yang merupakan wewenang dari kepemimpinan
sipil.
Dalam hubungan ini sangat tepat pernyataan seorang
penulis Barat tentang profesi militer, yang sering dikutip oleh senior saya , Jenderal
(Purn) Widjojo Soejono, yang bunyinya sebagai berikut:
It
is the destiny of the professional soldier to wait in obscurity , most of his
life, for a crisis that may never come. It is his function how to solve it if
it does come. It is his code to give all he has. [
Adalah nasib dari seorang prajurit professional untuk menunggu dalam bayang-bayang
kegelapan - dalam sebagian besar umurnya -- tentang krisis yang mungkin tidak
akan pernah terjadi. Adalah tugas pokoknya untuk mengatasinya, jika krisis itu
memang terjadi. Dalam keadaan tersebut, adalah merupakan kehormatan baginya
untuk mengerahkan segala yang ia punyai. ]
Seiring dengan itu, izinkan pula saya melaporkan bahwa
konsep ‘missi” – mission – yang
diberikan oleh komando atasan, merupakan konsep paling sentral dalam manajemen
militer, oleh karena semua operasi militer bertujuan untuk tercapainya suatu
missi, sehingga organisasi militer untuk mendukungnya ditata menurut prinsip mission-type organization. Sesuai dengan
sifat tugasnya itu, organisasi militer harus disusun secara kenyal, yang dengan
cepat harus dapat disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan dinamika
perkembangan keadaan.
Tercapai tidaknya missi, yang dipertanggungjawabkan
kepada seorang komandan, merupakan tolok ukur bagi kualitas suatu komando, dan
adalah wajar bahwa konsekuensi tercapainya missi akan berujung pada promosi
sang komandan, dan kegagalan dalam mencapai missi akan menyebabkan digantinya
komandan yang bersangkutan.
Dengan demikian, profesi militer mengharuskan setiap
perwiranya bukan saja untuk selalu waspada menghadapi berbagai kemungkinan
ancaman yang bisa terjadi, tetapi juga untuk selalu siaga mengemban tugas
apapun yang dipercayakan kepadanya, kapanpun dan dimanapun juga. Tidak ada kata
“tidak”, “belum”, atau “tunggu dahulu” dalam kamus militer. Oleh karena itu,
dalam keadaan tidak ada perang, maka yang harus dikerjakan oleh seorang militer
professional adalah mengikuti pendidikan
dan latihan, secara bertingkat sesuai dengan golongan pangkatnya, mulai dari
taktik dan teknik kesatuan kecil, sampai ke taktik kesatuan besar, strategi,
dan strategi raya ( grand strategy).
Ada kalanya missi yang dipercayakan kepada komando
bawahan itu sudah cukup terinci dalam sebuah perintah operasi, sehingga komando
bawahan yang bersangkutan cukup melaksanakan apa yang sudah tercantum dalam
perintah operasi tersebut. Namun tidak jarang, khususnya untuk tugas-tugas pada
komando tertinggi, missi tersebut hanya berupa sebuah perintah pendek, yang
harus dikembangkan sendiri lebih lanjut oleh komando bawahan. Demikianlah misalnya,
perintah yang diberikan oleh Kepala Staf Gabungan Sekutu, Jenderal George C.
Marshall kepada Panglima Tertinggi
Sekutu, Jenderal Dwight David Eisenhower, dalam Perang Dunia Kedua, berbunyi : “Rebut Berlin”. Perintah singkat
yang serupa juga diberikan oleh Dr. Kurt Waldheim, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kepada Bapak Rais Abin, yaitu : “ Make peace, nothing else”
Sudah barang tentu perintah yang bunyinya sangat umum dan
singkat tersebut memerlukan penjabaran lebih lanjut, yang merupakan tugas dari
jajaran staf umum, staf khusus, dan badan-badan pelaksana, yang syukurnya sudah
merupakan hal standar dalam organisasi militer manapun juga. Dengan demikian
secara teknis professional pembentukan komando gabungan, baik yang bersifat
nasional maupun yang bersifat internasional, dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menindaklanjuti pelaksanaan missi yang diterimanya,
adalah merupakan tugas dan tanggung jawab komando bawahan untuk mengadakan
analisa tugas pokok ( ATP), membuat perkiraan keadaan strategis (Kirstra)
menyiapkan rencana kampanye (renkam) dan rencana operasi (renops) membuatkan
perintah operasi(prinops) dan perintah administrasi (prinmin) yang akan
mendukungnya.
Jika komando yang memperoleh missi tersebut memerlukan
dukungan khusus yang tidak bisa ditanganinya sendiri, komando yang bersangkutan
bisa mengajukannya kepada komando atasan. Dalam tugas menjaga perdamaiana di
Timur Tengah, misalnya, secara lugas Bapak Rais Abin meminta dukungan penuh
dari segala pihak, oleh karena adalah jelas tidak mungkin untuk melaksanakan
tugas memelihara perdamaian tanpa mendapat kepercayaan penuh dari pihak-pihak
yang bertikai.
Oleh karena bukanlah merupakan tanggung jawab komando
militer untuk membekali dirinya sendiri, sudah barang tentu, adalah kewajiban
pemerintahan sipil untuk menyediakan alat utama sistem persenjataan (
alutsista) yang paling mutakhir dan anggaran yang cukup, agar supaya sekali
perang dilancarkan, tidak ada alternatif lain selain daripada menang. Kekalahan
dalam perang dapat menyebabkan lenyapnya Negara serta kehinaan bagi Bangsa.
Ada sedikit catatan tambahan. Walaupun prinsip dan kiat
kepemimpinan militer tumbuh dalam suasana perang, namun sistem manajemen dan
tekniknya dapat diterapkan dalam berbagai bidang yang mempunyai tingkat
ketidakpastian dan persaingan yang tinggi serta mempunyai sasaran yang jelas, seperti dalam bidang
bisnis ataupun untuk melaksanakan proyek-proyek khusus. Dalam hubungan inilah
dapat kita fahami mengapa prinsip-prinsip ilmu perang yang disusun oleh Sun Tzu
akhir-akhir ini mendapat perhatian demikian besar dari kalangan business
management.
Tiga
Substansi Utama Kandungan Buku.
Walaupun buku ini mempunyai subtitle “ Mengawal
Keberhasilan Perjanjian Camp David”,
namun buku ini mengandung dua substansi lainnya yang tidak kalah
pentingnya bagi kita dalam memahami kepemimpinan militer TNI, yaitu tentang
hubungan antar- dan inter-elite; serta tentang pentingnya peranan integritas
pribadi dalam pelaksanaan tugas, yang akan saya coba mengulasnya satu demi satu
sebagai berikut.
a. Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David.
Bagian ini adalah bagian paling sentral dalam buku ini,
yang terkait bukan hanya dengan kompleksitas masalah hubungan komando dan staf
dalam pasukan multi nasional seperti
UNEF II, tetapi juga aspek diplomatik dalam hubungannya dengan dua fihak
yang bermusuhan, sehingga perlu kita ulas dengan agak lebih lengkap.
Dalam bagian ini kita dapat memperoleh gambaran tangan
pertama betapa kompleks dan sulitnya tugas menciptakan kondisi yang memungkinkan
terwujudnya perdamaian antara Mesir dan Israel pasca Perang Ramadhan atau
Perang Yom Kippur tahun 1973-1974. Walaupun pertempuran sudah berhenti, namun
suasana permusuhan masih sangat terasa, dan upaya menuju perdamaian antara dua
pihak yang berperang memerlukan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi, bukan
hanya dari fihak yang berperang, tetapi juga dari fihak yang mempunyai tugas
untuk memfasilitasi perdamaian, dalam hubungan ini pasukan pedamaian PBB, UNEF
II.
Beberapa misi awal pasukan UNEF II adalah sebagai berikut
.
1) Mengawasi
pematuhan gencatan senjata dan pemulangan pasukan kedua fihak yang bersengketa
ke posisi tanggal 22 Oktober 1973.
2) Menjalankan
saya upaya maksimal; untuk mencegah terulangnya pertempuran.
3) Melakukan
kerjasama dalam usaha-usaha kemanusiaan dengan Komite Palang Merah
Internasional.
Dengan cukup terinci, buku ini memaparkan proses
pengangkatan beliau sebagai Panglima UNEF II, serta langkah demi langkah yang
diambil oleh Bapak Rais Abin untuk melaksanakan missi yang selain berat juga
sangat peka tersebut, baik mengenai masalah internal UNEF II maupun dalam
kaitan dengan hubungan dengan Negara Mesir dan Israel, yang nota bene tidak
mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia, Negara asal Bapak Rais Abin.
Proses pengangkatan seorang panglima UNEF II berlangsung
secara ketat, sejak dari tahap pencalonan sampai pada persetujuan oleh Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Secara khusus perlu diperhatikan, bahwa
para calon bukanlah mewakili Negara asalnya, tetapi merupakan pribadi yang
bukan saja dipandang cakap untuk memikul misi yang diemban UNEF II, tetapi juga
bisa diterima oleh seluruh fihak terkait. Dengan kata lain, bukan hanya aspek
profesionalitas tetapi juga akseptabilitas calon yang sangat bersifat pribadi. Seluruhnya
itu dilandaskan pada pengamatan dan evaluasi terhadap rekan jejak Bapak Rais
Abin sebagai Kepala Staf UNEF II.
Tanpa kecuali, seluruh fihak terkait menyetujui
pengangkatan Bapak Rais sebagai Panglima UNEF II, yang berarti bahwa baik dari
aspek profesionalitas maupun dari aspek akseptabilitas, Bapak Rais Abin
memenuhi kriteria semua fihak, bukan hanya Mesir dan Israel, tetapi juga Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pengangkatan sebagai Panglima UNEF II merupakan suatu
peristiwa yang unik, bukan hanya dalam karir Bapak Rais Abin sendiri, tetapi
juga bagi Tentara Nasional Indonesia,
oleh karena sebelum itu – dan juga setelah itu – jabatan tertinggi dalam
pasukan perdamaian PBB yang dijabat oleh perwira Indonesia adalah sebagai
komandan brigade saja. Sekedar catatan,
sudah barang tentu salah satu faktor yang mendukung persetujuan ini adalah
kemampuan Bapak Rais Abin dalam berkomunikasi dengan segala fihak, yang dengan
sendirinya memerlukan penguasaan bahasa Inggeris yang eloquent.
Suatu masalah khas yang dihadapi Bapak Rais Abin dalam
menunaikan tugas beliau ini adalah kenyataan bahwa Bapak Rais Abin berasal dari
Negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, yang dapat
menyebabkan terbatasnya langkah-langkah beliau sebagai Panglima UNEF II, antara
lain tidak bisa mendatangi daerahdaerah yang diduduki Israel. Baik Sekretaris
Jenderal PBB maupun Departemen Pertahanan tidak memandang perlu untuk campur
tangan mengenai hal ini.
Oleh karena itu, atas prakarsa dan tanggung jawab sendiri,
sebagai Panglima UNEF II Bapak Rais Abin secara langsung menghubungi Menteri
Pertahanan Israel, Shimon Peres. Dalam
pertemuan yang tidak biasa itu, Bapak Rais Abin menyatakan bahwa “ Kalau
sekiranya ada masalah politik dan mengganggu dukungan Israel melalui penugasan
saya, saya mau mundur”. Permintaan Bapak Rais Abin ini segera disetujui Simon
Peres, dengan menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata Israel sangat bersimpati
dengan pengangkatan Bapak Rais Abin. Seperti dapat diduga, persetujuan Israel
ini cukup mengagetkan Pemerintah R.I. di Jakarta. Mengenai hal ini secara
khusus Bapak Rais Abin menjelaskan sebagai berikut.
“ Apa yang saya inginkan berhasil. Baret biru yang saya
pakai bukan mewakili Indonesia, tetapi mewakili dunia. Itulah sebabnya mengapa surat
kawat Sekretaris Jenderal PBB datang ke markas PBB di Ismailia, bukan ke Istana
Negara, karena sejak diangkat menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB, saya
mengabdi kepada dunia dan sementara melepaskan loyalitas nasional, tetapi tetap
mempunyai kaitan dengan bangsa dan Negara dalam hal mengangkat harkat dan
martabat bangsa di dunia internasional” .
Dengan status yang sudah mantap tersebut, Bapak Rais Abin
dapat memulai tugas berat yang sebelumnya tidak pernah terjadi, yaitu mendorong
kedua belah fihak yang bertikai tersebut agar mau duduk ke meja perundingan,
dan berkata dengan jujur . Dalam suasana yang mulai kondusif untuk perdamaian
tersebut, sungguh mengharukan untuk membaca tentang keberanian Presiden Mesir
Anwar Sadat untuk bersedia mendatangi parlemen Isarel, Knesset, untuk memenuhi
undangan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada bulan November 1977. Perundingan langsung ini berhasil baik,
sehingga pada akhir tahun 1978 Bapak Rais Abin melaporkan kepada Sekretaris
Jenderal PBB bahwa kedua belah fihak sudah setuju untuk melakukan perundingan,
yang melapangkan jalan untuk disepakatinya Perjanjian Camp David pada bulan
Maret 1979 . Dengan perjanjian Camp David, perdamaian memang tercipta antara
Mesir dan Israel, tetapi konflik belum masih berlanjut terus antara Israel dan
Palestina, hingga kini.
Secara pribadi saya berpendapat bahwa seluruh pengalaman
pasukan perdamaian PBB dari unsur TNI perlu dikaji dengan mendalam, untuk
kemudian dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun pedoman melaksanakan tugas
konstitusional Pemerintah Republik Indonesia, yaitu “ ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.” Pengalaman sebagai penjaga perdamaian ini juga akan bermanfaat untuk
menyempurnakan pelaksanaan tugas-tugas pembinaan territorial di dalam negeri,
khususnya di daerah-daerah yang rentan terhadap terjadinya konflik horizontal
antara berbagai kelompok masyarakat.
b. Hubungan Antar- dan Inter-Elite.
Komando militer, baik di tingkat daerah maupun di tingkat
pusat adalah bagian dari keseluruhan korps elite nasional, yaitu lapisan
kepemimpinan yang terdiri dari pribadi-pribadi yang memegang kekuasaan dan
kewenangan untuk mengambil keputusan dan menggunakan sumber daya nasional.
Dari literatur teori elite – antara lain yang ditulis
oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, atau G.Wright Mills- -- kita mendapat masukan bahwa korps elite tidak
pernah benar-benar bersifat homogen. Selalu ada konflik dan rivalitas dalam
korps elite tersebut, baik dala bentuk konflik pribadi maupun konflik
kepentingan.
Buku ini juga mencatat dan memberikan tanggapan terhadap
konflik dan rivalitas yang terjadi antar- dan intern elite Indonesia, serta
bagaimana cara untuk mengatasi konflik dan rivalitas tersebut. Ada dua contoh
yang menarik yang diangkat dalam buku ini, yaitu 1)
hubungan yang tidak terlalu mulus antara Presiden Soeharto dengan
Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf, yang secara langsung atau tidak
langsung mempunyai nuansa kultural, yaitu antara kultur politik Jawa yang
halus, dengan kultur politik Bugis, yang serba luas; dan 2) keheranan Bapak Rais Abin terhadap makna
loyalitas tanpa reserve dari dua
orang Menteri Sekretaris Negara kepada Presiden Soeharto, yaitu Letnan Jenderal
Soedharmono dan Letnan Jenderal Moerdiono.
Menghadapi hubungan yang tidak terlalu mulus antara
Presiden Soeharto dengan
Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf, Bapak Rais Abin mengingatkan
Jenderal Muhammad Jusuf untuk lebih memahami budaya Jawa, sedang terhadap
konsep loyalitas tanpa batas yang dianut oleh dua orang menteri sekretaris
Negara tersebut, Bapak Rais Abin masih tetap tidak bisa mengerti, yang
menyebabkan hubungan pribadinya yang semula hangat menjadi mendingin.
c. Pentingnya Peranan Karakter dan Integritas
Pribadi.
Tersebar dalam banyak halaman terdapat bahan yang amat
kaya tentang pentingnya peranan karakter dan integritas pribadi dalam
keberhasilan pelaksanaan tugas Bapak Rais Abin, yang dapat kita kelom[okkan
dalam tiga tema, integritas pribadi,
kemampuan rofesionalisme militer, dan jejaring pribadi. Penjelasannya adalah
sebagai berikut.
1) Integritas Pribadi.
Tampil sangat menonjol dalam materi buku ini adalah
testimoni dari berbagai fihak yang amat kaya tentang kejujuran, disiplin, sifat
lugas, kehangatan,serta keterbukaan dari Bapak Rais Abin. Seluruhnya dapat kita
rangkum dalam satu terrminologi, yaitu ‘integritas pribadi’.
Integritas pribadi ini menimbulkan suasana yang kondusif
untuk melaksanakan tugas, betapapun beratnya. Sungguh mengesankan bahwa dengan
sifat-sifat demikian beliau dapat diterima dan dihormati oleh kedua belah yang
bermusuhan – yaitu Mesir dan Israel --
selama menjabat sebagai Kepala Staf, kemudian sebagai Panglima UNEF II.
Sudah barang tentu sifat-sifat ini tidaklah timbul demikian saja setelah berada
dalam dinas TNI tetapi merupakan manifestasi dari sistem nilai kultural yang
diwarisi sejak kecil oleh beliau, yang kemudian dipelihara dan dikembangkan
dalam konteks professional sebagai prajurit TNI. Dengan kata lain, keberhasilan
dalam pelaksanaan mission yang beliau emban demikian banyak bergantung pada
faktor psikologis, baik dalam diri beliau sendiri maupun dalam hubungan antar
pribadi.
Masalah pentingnya integritas pribadi – atau
karakter-- ini rasanya memerlukan
perhatian yang lebih besar dalam pendidikan perwira kita. Kesimpulan yang
sama tercantum jelas dalam buku
kenang-kenangan para perwira TNI-Angkatan Laut yang belajar di Akademi Angkatan
Laut Belanda di Den Helder dalam tahun 1950-an, bahwa predikat sebagai kroon
kadet tidaklah diberikan kepada kadet yang paling pandai dari segi akademik,
tetapi justru kepada kadet yang mempunyai integritas pribadi yang paling baik.
Kesimpulan pentingnya karakter pada kepemimpinan seorang perwira ini juga
diperoleh dari analisa terhadap kepemimpinan para jenderal Amerika Serikat yang
terkenal selama Perang Dunia Kedua, sehingga seorang pengarang biograsi mereka
merumuskan bahwa character is everyting, karakterlah yang menentukan
segala-galanya.
2) Kemampuan Profesional Militer.
Sudah barang tentu, betapa pun pentingnya karakter, hal
itu tidaklah cukup untuk menyukseskan suatu missi yang dipercayakan kepada
seorang komandan militer. Kemampuan professional mliter ini diperoleh melalui
rangkaian pendidikan dan latihan serta rangkaian penugasan yang tidak putus-putusnya.
Dalam hubungan ini Bapak Rais Abin telah melalui
pendidikan berjenjang serta penugasan yang lengkap, sejak dari penugasan
sebagai instruktur di Pusat Infanteri, Sekolah Staf dan Komando TNI-Angkatan
Darat, serta sekolah staf dan komando sejenis di Australia. Beliau juga sudah
pernah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Nusa Tenggara, dan Kepala Staf
Penguasa Perang Daerah di Sulawesi Selatan.
Kemampuan professional militer, baik untuk menyesuaikan
diri dengan berbagai keadaan maupun untuk melaksanakan berbagai jenis tugas,
memungkinkan Bapak Rais Abin untuk melaksanakan dengan baik berbagai tugas baru
yang tidak terkait langsung dengan tugas militer, khususnya menjadi Duta Besar
di Malaysia dan Singapura, serta menjadi Sekretaris Jenderal Konferensi Tingkat
Tinggi Gerakan Non Blok.
3) Jejaring Pribadi.
Pada dasarnya penugasan sebagai komandan adalah pemberian
kepercayaan dari atasan kepada seorang bawahan, berdasar keyakinan bahwa
bawahan yang bersangkutan bukan saja mampu, tetapi juga dapat dipercaya.
Dalam hubungan ini sungguh mengesankan bahwa Bapak Abin
mempunyai hubungan pribadi yang amat baik dengan berbagai perwira senior, baik
sebagai atasan maupun sebagai sesama
staf, seperti Jenderal Muhamad Yusuf,
Jenderal Widodo, dan Jenderal Poniman. Sebagian jejaring pribadi ini
berasal dari pengalaman yang sama sewaktu mengikuti pendidikan, sebagian lagi
dari hubungan sebagai atasan dan bawahan sewaktu berdinas.
Amatlah menarik, bahwa dalam hubungan dinas dengan para
perwira senior dalam jejaring pribadi tersebut, Bapak Rais Abin selain mampu
untuk bersifat lugas, juga mampu memelihara suasana akrab, tidak jarang bahkan
sampai menyebut nama panggilan ( nickname)
sang atasan.
4. Posisi Buku ini dalam Literatur Pemikiran
TNI.
Adalah jelas bahwa buku yang memuat demikian banyak
pengalaman tangan pertama dalam bidang komando dan pengendalian pada pasukan
pemeliharaan perdamaian dari Perserikatan Bangsa Bangsa ini telah mencapai
sasarannya, yaitu sebagai warisan dari salah seorang tokoh senior Generasi 1945
bagi penerus TNI, penerus bangsa, dan kejayaan Pancasila.
Menurut pengamatan saya, masalah komando dan pengendalian
ini – baik dalam operasi militer perang maupun operasi militer selain perang –
memang merupakan suatu masalah yang sungguh-sungguh memerlukan perhatian, oleh
karena kelihatannya merupakan bagian terlemah dari keseluruhan pelaksanaan
tugas TNI. Hal itu terlihat baik dalam operasi Trikora 1961, operasi Dwikora
1965, maupun dalam operasi Seroja 1975.
Khusus mengenai operasi Seroja di Timor Timur, kita
beruntung bahwa pada saat ini telah ditulis dan diterbitkan sebuah buku yang
relative lengkap oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri, perwira
tinggi yang menghabiskan sebagian besar masa dinasnya di eks Provinsi Timur
Timur, dengan judul : “ Timor Timur: The Untold Story.”
Dalam Bab 7 buku tersebut, Letnan Jenderal Kiki Syahnakri
mencatat tujuh faktor yang menyebabkan lepasnya eks Provinsi Timor Timur
tersebut, yaitu: 1) ketidaksesuaian antara doktrin pelaksanaan pada petunjuk dengan
persenjataan dan teknologi militer yang dimiliki dan dengan ancaman yang
dihadapi; 2) kurang memegang prinsip operasi gerilya lawan gerilya; 3) tidak
memanfaatkan otoritas adat; 4) kurangnya keterpaduan; 5) perilaku aparat dan korupsi; 6) relasi dengan
gereja Katolik dan Uskup Belo; dan 7)
hubungan dengan media.
Tidak dicantumkan secara khusus namun cukup banyak diulas
dalam hubungan ini adalah krititik
terhadap keputusan Presiden B.J. Habibie yang pada tahun 1999 secara mendadak
memutuskan mengadakan jajak pendapat di Timur Timur pada saat perundingan
dengan Portugal sudah hampir mendekati tahap final, dan pada saat hampir
seluruh penduduk Timor Timur – termasuk yang anti integrasi – menerima konsep
otonomi khusus itu. Artinya kelemahan komando dan pengendalian tidak hanya
terdapat pada tataran lapanga, tetapi juga pada tingkat tertinggi pimpinan
Negara, yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan maupun pengalaman mengenai
masalah pertahanan dan keamanan serta kondisi di lapangan.
Tetapi ini adalah masalah lain, yang perlu dibahas
tersendiri.
5. Kesimpulan dan Penutup.
a. Profesi militer mempunyai sifat khas yaitu harus
selalu siap menghadapi krisis yang mungkin tidak pernah terjadi; dan jika
terjadi harus mampu menanganinya dengan tuntas.
b. Tugas
pemeliharaan perdamaian dari pasukan Perserikatan Bangsa Bangsa termasuk
category ‘military operations other than war’.
c. Prinsip-prinsip
kepemimpinan dan manajemen militer yang berorientasi pada pencapaian missi dan
bersifat kenyal, bisa diterapkan dalam berbagai bidang di luar bidang militer.
d. Dalam
pengimplementasian prinsip kepemimpinan dan manajemen militer sangat penting
peranan integritas pribadi, kemampuan professional, serta jejaring
persahabatan.
e. Dalam hal
tidak ada petunjuk khusus dalam menindaklanjuti suatu missi, seorang komandan
militer harus mampu secara kreatif untuk mencari solusinya sendiri, dalam
batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.
f. Catatan
karir Bapak Rais Abin menunjukkan bahwa beliau telah menerapkan pinsip-prinsip
tersebut secara kreatif, dan dapat dijadikan salah satu rujukan oleh generasi
yang lebih muda.
g. Konflik
antar- dan intra elite adalah suatu hal yang wajar terjadi, dan oleh karena
sifatnya yang amat peka, penanganannya memerlukan kehatian-hatian.
Komentar