SEBAIKNYA PAK HABIBIE MENJAWAB



Ketika ummat Islam sedang memasuki bulan Ramadhan, saya mencoba untuk membaca kembali tulisan Jusuf Wanandi tahun 2014, di mana ia mengeluarkan tulisan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia berjudul:" Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998," yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Februari 2014. Tulisan dalam bahasa Inggris berjudul " Shades of Grey ,A Political Memoir of Modern Indonesia," yang diterbitkan tahun 2012 oleh Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd.

Buku ini sangat menarik, karena diungkap dengan bahasa yang sederhana. Pun menyibak tuntas tanpa tedeng aling-aling. Boleh jadi siapa pun yang mendengarnya, telinganya pasti merah. Sebagai seorang wartawan sejak 1982 dan anggota ICMI Orda Depok, saya membacanya tidak dengan merah telinga, asal tulisan yang dipaparkan dalam buku itu obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan. Bagaimana pun memposisikan diri sebagai wartawan, kita berada di tengah-tengah. Itu sebabnya, saya membuat judul: “Sebaiknya Pak Habibie Menjawab,” agar bangsa ini jangan bingung.

Lihatlah misalnya di halaman 387, buku Jusuf Wanandi itu, ia memaparkan dialog antara Benny Moerdani dengan Soeharto setelah lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI. Pertemuan itu berlangsung di rumah Sigit, di belakang Jalan Cendana, pada 15 Desember 1998. Disebutkan dengan jelas betapa Benny mengatakan bahwa Soeharto waktu itu tidak percaya lagi kepada dia, kepada ABRI. Malah lebih percaya kepada Habibie dan ICMI dan semua pembantu Soeharto, seperti Akbar Tandjung, Harmoko, dan Ginanjar Kartasasmita. Ternyata menurut Benny, mereka itu penghianat.

Lebih menariknya lagi, buku ini, meski apakah Akbar Tandjung sudah membaca buku tersebut secara lengkap atau belum, Akbar Tandjung yang disebut oleh Benny Moerdani, penghianat itu ikut memberi kata pengantar dalam buku ini. Bisa saja Akbar tidak mempermasalahkan bahwa ia disebut penghianat atau tidak, karena ia terfokus membicarakan tentang teman lamanya, penulis buku tersebut Jusuf Wanandi yang ia kenal sejak Jusuf duduk di SMA Kanisius, Jakarta. Atau bagian ini belum dimasukkan oleh Jusuf Wanandi ketika meminta kata pengantar kepada Akbar Tandjung?

Habibie memang sangat sering disebut dalam buku tersebut. Di halaman 325 dan 326, Jusuf menulis, "Habibie jelas digunakan oleh Soeharto. Sebaliknya, Habibie memanfaatkan Soeharto untuk mendorong proyek-proyeknya tanpa harus mempertanggungjawabkan penggunaan sebegitu besar dana negara. Di kemudian hari, Soeharto baru menyadari bahwa Habibie tidak dapat dipercaya dan telah mengadu domba dia. Tetapi ketika itu semuanya sudah terlambat."

Pertanyaannya, apakah kesadaran Soeharto muncul ketika ia menandatangani bantuan IMF di Jakarta. Syarat IMF agar mau mengucurkan dananya, jangan bantu PT.Nurtanio (Nusantara). Soeharto pun menuruti kehendak IMF dan mengeluarkan Keppres untuk tidak lagi membantu PT.Nurtanio. Akhirnya industri pesawat kita sempoyongan karena tidak ada dana lagi. Lebih-lebih Habibie yang setelah Timor Timur lepas banyak tinggal di luar negeri akibat konflik antara TNI dan dirinya. Akibat Timor Timur lepas. TNI sangat marah. Lepasnya Timor Timur yang tanpa berkonsultasi dengan Menlunya Ali Alatas membawa luka yang dalam buat Indonesia, yang pada waktu itu telah menjadikan Timor Timur Provinsi ke-27 Republik Indonesia.

Letjen (Purn) Rais Abin di dalam buku yang saya tulis, hal.103,104 dan 105 banyak disinggung, terutama hubungan antara M.Jusuf, Menhankam Pangab dan PT.Nurtanio. Terlihat sangat jelas, TNI tidak terlalu menyukai gebrakan Habibie yang masu ke wilayah TNI. Semoga saja Pak Habibie bisa menjelaskannya agar generasi muda bisa memahami sejarahnya sendiri dengan baik.


Komentar