Sabtu, 15 Oktober 2011, Gedung Joang 45, di Jalan Menteng Raya, 31, jadi saksi bisu keberadaan angkatan 45 untuk mengulang kembali sejarah tahun 1945. Meskipun banyak juga generasi mudanya, tetapi pekik "Merdeka" berulangkali di ruangan itu yang seakan-akan menggetarkan hati kita masing-masing. Ada seorang srikandi 45 yang kini berusia 83 tahun ikut hadir, ingin menampilkan semangatnya kembali dengan memekikkan kata "Merdeka". Bagi kita yang muda-muda, ada rasa haru, terpaku, ikut merenung kembali betapa semangat muda itu muncul kembali.
Ya, di tempat inilah para pemuda kita berkumpul sebelum Indonesia merdeka. Rapat-rapat selalu mereka lakukan demi mewujudkan kemerdekaan republik Indonesia. Mereka sudah tentu bercita-cita bagaimana negara yang dibentuk nanti sebuah Republik Kesatuan, pemerintahnya disusun berdasarkan Kedaulatan Rakyat, politik luar negerinya bebas-aktif, baik ekonomi, maupun pertahanan/keamanan negaranya berdasar persatuan, kepercayaan pada diri sendiri dan kesanggupan sendiri. Pertanyaannya apakah cita-cita para pemuda ini terwujud? Baiklah kita merenung kembali.
Tak kalah pentingnya, di Gedung Joang 45 itu memang sedang diselenggarakan bedah dan peluncuran buku:"Abdul Latief Hendraningrat, Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945." yang ditulis oleh menantu Pak Latief, Dr.Nidjo Sandjojo,M.Sc, lelaki kelahiran Wonosobo, 9 Agustus 1952. Kariernya berawal sebagai Komandan pleton di Satuan kostrad dan di akhiri di Departemen Pertahanan RI, di samping sudah tentu sebagai staf pengajar di Perbanas, Jakarta dan Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) "Veteran" Jakarta.
Nara sumber yang dihadirkan dalam acara bedah buku Pak Latief ini, selain Pak Nidjo adalah juga Dr.Rushdy Hoesein, nama yang betul adalah Dr.dr, karena beliau seorang dokter yang mencintai sejarah (sejarawan), sekarang mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Terdapat pula nama JJ Rizal, sejarawan muda yang lahir tahun 1974 yang sudah tentu bersemangat sekali mengungkap misteri-misteri sejarah. Meski UI sendiri membantah beliau bukanlah seorang dosen, karena dikutip media yang salah ketika terjadi peristiwa di Depok, tetapi saya menganggapnya sudah patut dianggap sebagai sejarawan. Untuk menjadi seorang sejarawan, tidak harus terpaku kepada dinding-dinding pembatas yang tinggi, di mana ada semangat tinggi, ada kemauan, berjiwa sebagai seorang peneliti, kualitas sejarawannya tentu dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan, saya, Dasman Djamaluddin,SH,MHum,(Sejarawan) dalam acara itu bertindak sebagai moderator yang adalah juga Ketua Divisi Hukum dan HAM ICMI Orda Kota Depok.
Bedah dan peluncuran ini dihadiri pula keluarga besar Pak Soehoed, Achmad Soebardjo, wakil dari Kemhan, Pusat Sejarah TNI, Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), mahasiswa dan para staf Pengajar, ya sudah tentu para angkatan 45. Ada bebarapa kesimpulan dalam bedah buku ini:
1. Berpedoman kepada tradisi akademik, maka masih memakai teori lama, dan berdasarkan data yang diungkapkan nara sumber, maka Pak Abdul Latief Hendraningrat dan Pak Soehoed adalah sah sebagai Sang Pengibar Bendera pusaka 17 Agustus 1945.
2. Tradisi akademik juga mengatakan, silahkan siapa saja bisa mengaku sebagai pengibar bendera jika mampu membuktikan data akurat, teruji dan betul-betul dipercaya. Boleh saja data baru yang otentik bisa mengalahkan teori lama ini, maka boleh jadi terjadi kekeliruan sejarah.Tetapi jika belum bisa sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini, maka teori lama tetap berlaku. Inilah penegasan dari bedah dan peluncuran buku Abdul Latief Hendraningrat.
3. Perlu juga digarisbawahi, pemerintah memang tidak boleh mengakui salah satu pihak. Jika itu terjadi maka wilayah akademik sudah beralih ke wilayah politik. Hal ini tidak boleh terjadi dan tidak boleh terulang kembali. Hanya pihak-pihak pribadi yang merasa keliru, diharapkan mundur pelan-pelan karena dampak yang terasa hingga ke anak cucu. Siapakah di antara kita suatu ketika teman-teman anak, cucu kita di sekolah rela dianggap ayah, kakeknya sebagai pembohong sejarah?
Komentar