RESEP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN ATAU MUTU HASIL BELAJAR SISWA

by : Suparlan


“.... class size, per-pupil spending, and the number of teachers with certification or advanced degrees had nothing to do with student test scores in language and math”
(Roland Fryer)

“.... the number of times teachers got feedback. The number of days student got tutored in small groups. The number of assessments for students. The number of hours students actually spent at their desks. Each correlated with higher student scores
                                               (Roland Fryer)                                              


Anak menantu saya telah mengirimkan satu artikel ke e-mail saya me@suparlan.com. Artikel itu bertajuk “Everything You Know About Education is Wrong”, ditulis oleh Jordan Weissmann, seorang wakil editor The Atlantic, dan juga seorang penulis di beberapa publikasi, termasuk The Washington Post dan The National Law Journal. Sungguh mengagetkan! Sekali lagi sungguh mengagetkan, karena tulisan yang satu ini sungguh telah berlawanan dengan konsep-konsep pendidikan yang selama ini kita fahami kebenarannya. Selama ini kita mengutamakan faktor sumber daya pendidikan (educational resources), termasuk di dalamnya guru, dana, dan fasilitas pendidikan. Ternyata, studi yang dilakukan oleh ekonom Roland Fryer di 35 sekolah di kawasan kota New York ini ternyata telah menampik tentang pentingnya faktor-faktor yang kita kenal sebagai komponen utama pendidikan itu.

Sekali lagi, sungguh mengejutkan. Roland Fryer telah melaksanakan penelitian dengan mengadakan wawancara dengan siswa, kepala sekolah, dan para guru. Selain itu, beliau juga telah mempelajari rencana pelajaran (lesson plan), yang di sekolah kita lebih dikenal segabai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan tidak lupa juga melihat video proses pembelajaran di dalam kelas, dengan tujuan untuk mencari hubungannya dengan tes hasil belajar yang dicapai peserta didik.

Temuan Roland Fryer tentang sumber daya pendidikan (educational resources) yang mengejutkan itu

Temuan studi yang telah dilaksanakan Roland Fyer boleh jadi akan menjadi perdebatan panjang bagi pada kepala sekolah dan guru, dan juga para pejabat yang selama ini telah mengambil kebijakan yang menomorsatukan komponen-komponen pendidikan, misalnya, memperkecil jumlah peserta didik per kelas, menaikkan anggaran pendidikan, dan melaksanakan program sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi guru. Anehnya, menurut Ronald Fryer, sekolah-sekolah yang telah diberikan fasilitas sumber daya yang lebih banyak, kenyataannya ternyata telah menunjukkan justru memperoleh skor tes hasil belajar yang lebih jelek. Menurut hasil studi Roland Fryer, komponen-komponen pendidikan yang selama ini dinilai sebagai komponen yang besar sekali pengaruhnya terhadap mutu pendidikan dan hasil belajar siswa, ternyata “had nothing to do with student test scores in language and math” atau tidak ada kaitannya dengan skor tes hasil belajar siswa dalam mata pelajaran bahasa dan matematika. Tentu saja hasil studi Roland Fryer ini akan menimbulkan pertanyaan besar yang menggoyahkan teori-teori yang menjadi landasan bagi kebijakan-kebijakan yang selama ini telah dilaksanakan pemerintah. Secara bercanda, dapat dikatakan bahwa bumbu-bumbu masak yang selama ini telah dijadikan resep utama untuk meningkatkan mutu hasil belajar ternyata hanya menjadi resep yang salah.  

Budaya Sekolah

Jika jumlah siswa per kelas kecil, guru-guru yang terakreditasi, dan anggaran untuk per siswa ditambah tidak meningkatkan hasil belajar siswa, lalu apa yang berpengaruh? Roland Fyer dengan tegas menyatakan bahwa yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah budaya sekolah (school culture). Apa saja itu? Komponen budaya sekolah itu antara lain adalah 
  1. Jumlah waktu yang digunakan oleh guru untuk memberikan umpan balik (feedback) kepada siswa, 
  2. Jumlah hari yang digunakan siswa untuk memperoleh tutorial di dalam kelompok kecil siswa, 
  3. Jumlah proses penilaian yang diikuti oleh siswa, dan
  4. Jumlah waktu yang secara aktual digunakan siswa di atas bangku belajarnya. Keempat komponen itulah yang disebut sebagai budaya sekolah, yang ternyata memiliki pengaruh terhadap skor hasil belajar siswa. Singkat kata, cara dan kebiasaan belajar siswalah yang ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap hasil belajarnya.


Pertama, umpan balik (feedback) kepada siswa. Budaya ini memang harus kita laksanakan, dan bahkan kita tingkatkan. Selama ini, proses pembelajaran selama ini kurang memperhatikan aspek komunikasi dengan peserta didik. Pada awal proses pembelajaran, guru kurang memberikan “pertanyaan-pertanyaan awal” kepada peserta didik. Kebanyakan guru akan langsung memberikan perintah “buka buku kalian halaman 54”, “baca dalam hati”, dan kemudian guru langsung menjelaskan materi dalam buku itu. Seharusnya, guru memberi apa yang disebut sebagai appersepsi, misalnya dengan pertanyaan awal, memberikan gambaran materi pelajaran itu dengan pengalaman nyata yang ada hubungannya dengan kehidupan kita. Bahkan dalam tahap ini komunikasi personal dengan siswa perlu kita lakukan. Memanggil nama siswa merupakan cara berkomunikasi personal yang membuat peserta didik merasa memperoleh penghargaan. Hal-hal inilah yang dimaksud sebagai budaya sekolah yang perlu ditingkatkan.

Kedua, melaksanakan tutorial kepada peserta didik, bahkan secara personal. Selama ini, para guru kita kurang memahami bahwa sebenarnya tidak semua siswa dapat menguasai materi pelajaran yang telah diberikan dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, maka kegiatan tutorial perlu dilaksanakan kepada peserta didik. Proses mengulang kembali pelajaran, dan bahkan proses bimbingan kepada siswa yang lambat belajar juga harus dilakukan.

Ketiga, melaksanakan penilaian secara teratur. Ada peserta didik yang menganggap penilaian sebagai hukuman, atau bahkan sebagai sikasaan, karena dilaksanakan karena terpaksa. Penilaian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan proses pembelajaran. Oleh karena itu, seharusnya pada setiap akhir materi pelajaran dalam sebuah buku teks perlu ada daftar pertanyaan, dan bahkan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta didik, baik tugas individual maupun tugas-tugas kelompok yang harus dilakukan oleh peserta didik. Hasil pelaksanaan tugas peserta didik perlu dipajang di dalam kelas, sebagai hasil karya siswa yang harus memperoleh penghargaan. Sebagai gambaran, cucu saya yang masih berusia 6 (enam) tahun, masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, jika ke rumah pasti meminta kepada neneknya untuk dibuatkan soal penjumlahan. Cucu saya ini senang sekali memperoleh soal dari neneknya untuk dikerjakan. Setelah menyelesaikan soal itu, diberikanlah kepada neneknya untuk memperoleh hasil penilaian. Dengan bangganya ia menunjukkan nilai 10 (sepuluh) yang diberikan oleh neneknya. Jadi, penilaian tidak harus menjadi hal yang menakutkan bagi anak. Penilaian, sekali lagi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran.

Keempat, waktu efektif belajar di dalam kelas. Waktu belajar efektif harus menjadi perhatian kepala sekolah dan guru di sekolah. Membaca harus menjadi budaya sekolah yang memperoleh perhatian utama. Dalam Al Quran disebutkan bahwa membaca merupakan kegiatan pertama kita untuk terus belajar. Dalam hal ini, membaca adalah media yang paling efektif untuk belajar. Oleh karena itu, sekolah harus memiliki budaya membaca. Untuk itu, selain sekolah perlu memiliki perpustakaan, di setiap ruang kelas juga harus memiliki perpustakaan kelas dengan pelbagai macam buku yang menarik untuk dibaca. Melalui banyak membaca inilah peserta didik memanfaatkan waktu efektifnya untuk banyak belajar.     

Kesimpulan: Sumber Daya Pendidikan dan Budaya Sekolah

Sebenarnya kedua aspek tersebut, sumber daya pendidikan dan budaya sekolah, harus diletakkan dalam konteks yang tepat. Jumlah siswa per kelas, anggaran per peserta didik, dan jumlah guru yang telah tersertifikasi dan yang memiliki kompetensi yang tinggi merupakan sumber daya pendidikan yang digunakan oleh sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan. Tanpa sumber daya, sekolah pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Namun, sumber daya harus digunakan secara efektif agar budaya sekolah dapat terlaksana dengan optimal untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Untuk ini, jumlah wakti yang digunakan oleh para guru untuk memberikan umpan bail kepada siswa, jumlah hari yang digunakan siswa untuk memperoleh bimbingan dan tutorial, baik dalam kelas maupun dalam kelompok-kelompok kecil, jumlah proses penilaian yang diikuti oleh peserta didik, dan jumlah waktu yang digunakan siswa untuk belajar, ternyata menjadi budaya aktual yang harus dilaksanakan di sekolah. Untuk dapat melaksanakan budaya sekolah tersebut, bagamana pun juga memerlukan sumber daya pendidikan. Oleh karena itu, kedua aspek tersebut, sumber daya pendidikan (educational resources) dan budaya sekolah (school culture) harus dapat disatupadukan secara integral untuk mencapai mutu pendidikan yang dicita-citakan. Dengan kata lain, budaya sekolah memang harus dilaksanakan secara optimal. Untuk dapat melaksanakan budaya sekolah diperlukan dukungan sumber daya pendidikan yang memadai. Dua aspek itulah yang akan menjadi resep upaya peningkatan mutu pendidikan atau mutu hasil belajar peserta didik. Amin.

*) www.suparlan.com; me@suparlan.com; HP: 0817727042

                                                                                     Jakarta, 28 Desember 2011.

Komentar