Temu
Sastrawan Nusantara Melayu Raya (Numera) 2012 telah berlangsung dari tanggal 16
hingga 18 Maret 2012 di Padang, Sumatera Barat. Kesan mendalam dalam acara
bertema “Melacak Indentitas Kultural
Melayu Melalui Sastra, Budaya dan Sejarah,” ini adalah bertemunya budaya
serumpun di Indonesia.Sebuah perhelatan besar yang menghadirkan peserta 200
orang yang terdiri dari sastrawan, sejarawan dari dalam negeri dan
negara-negara serumpun.
Padang,
Sumatera Barat dianggap berhasil menyelenggarakan acara akbar ini untuk
pertamakalinya. Di Sumatera Barat pula kita temui penulis-penulis Minang yang
kemudian mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra melalui berbagai karya
tulis. Sebut saja Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, Taufiq Ismail dan
Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan
modernisasi bahasa Indonesia hingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional.
Novel-novel karya sastrawan Minang
seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Layar Terkembang, dan Robohnya
Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia
dan Malaysia.
Bersatunya aparat daerah dalam mensukseskan acara ini sungguh sebuah
keberhasilan tersendiri. Walikota Padang Fauzi Bahar, yang diwakili Sekretaris
Daerah Kota Padang, di Palanta Rumah Dinas Walikota tersebut berkenan membuka
acara akbar ini. Dalam pidato sambutannya, Walikota menyambut baik dan berharap
dengan pertemuan tersebut dapat menyatukan dan memajukan peradaban Nusantara
Melayu dalam mengatasi persoalan.
“Melalui Pertemuan Sastrawan Melayu ini kita siasati dengan dialog cultural secara multi dan interdisiplin
untuk mengevaluasi diri dalam menghadapi tantangan globalisasi ke depan,” ujar
Walikota Padang.
Menarik untuk disimak adalah sesi diskusi yang menghadirkan beragam
pemakalah mulai dari persoalan sejarah, sastra, dan linguistik yang akan
membedah persoalan “Melayu”. Beberapa pemakalah dan tema di antaranya:
Prof.Madya Dr.Fauzi bin Deraman (Universiti Malaysia) dan Jannatul Husna bin
Ali Nuar,MA (Universiti Malaya) dengan makalah: “Menyusuri Jejak Syeikh Yasin
Padang; Kajian Biografi dan Kepakaran,” Dr.Lindayanti,M.Hum (Universitas
Andalas/Unand) dan Witrianto,SS,M.Hum,M.Si (Unand): “Harmoni Kehidupan pada
Masyarakat Kultural:Studi Kasus Integrasi Sosial Antaretnis di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi”, Dr.Siti Fatimah, M.Pd,M.Hum dengan
makalah:”Perempuan Melayu dalam Perspektif Sejarah:Studi tentang Perempuan Minangkabau dari Tradisi ke
Modern”, Dasman Djamaluddin,SH,M.Hum dengan makalah:”Melayu Raya dalam
Perspektif Sejarah Indonesia.”
Memang
pada awalnya kita sepakat jika membicarakan Bangsa Serumpun yang dipakai adalah
analisa budaya bukan politik. Tataran Melayu Raya yang juga disebut Nusantara
Raya itu hanya bisa memberi arti bagi sebuah persatuan apabila dilihat dari
sisi budaya. Jika dilihat dari sisi politik, maka hal itu tidak berarti lagi,
karena bangsa-bangsa Melayu yang dimpi-impikan sebuah kesatuan awal mulanya
tersekat-sekat oleh negaranya sendiri yang sudah memerdekakan diri.
Hal
ini perlu ditegaskan, kadangkala permasalahan sebuah bangsa tidak bisa
diselesaikan dengan politik. Harus ada solusi baru. Solusi itu adalah
budaya. Bagaimana pun pengungkapan tesis
melalui pendekatan budaya tentu jauh lebih baik dari pendekatan politik.
Pendekatan budaya membuat sekat-sekat etnis, agama dan aliran-aliran politik
terlampaui. Budaya memiliki kemampuan untuk menerobos struktur dan melintasi
batas-batas wilayah, agama, politik, etnis dan anasir-anasir pembentuk
keberagaman lainnya. Karena budaya selalu memiliki rasa universalisme, tentang
nilai-nilai kemanusian yang dipahami secara bersama-meskipun dalam diam- oleh
seluruh ummat manusia, budaya dengan akar-akarnya yang luhur. Budaya diharapkan
mampu berfungsi sebagai perekat masyarakat Nusantara, memperkuat solidaritas
bangsa yang serumpun .
Seorang
budayawan, sastrawan, Ilmuwan dan
pemuka agama memiliki irama yang sama dalam mencari kebenaran, kejujuran . Mereka dinamis dalam
dunia ideal. Berkreatif memaknai suatu perkembangan. Gagasan-gagasan baru akan
lebih banyak muncul di dunia itu.Mereka
harus independen, tidak memihak.
Sebagaimana diungkapkan oleh
Almarhum W.S.Rendra bahwa seorang cendekiawan harus "berumah di
angin", tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.
Sejarah Melayu Raya
Membicarakan Sejarah Melayu Raya, tentu pengkajian kita akan
tertuju ke sebuah suku, Suku Melayu
dan bertutur dalam bahasa yang
sama, Bahasa Melayu. Suku-suku ini berkembang di sebagian besar Malaysia,
pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta
pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.
Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Malayu yang pernah ada di
kawasan Sungai Batang Hari. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu takluk dan menjadi bawahan Kerajaan
Sriwijaya. Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera,
mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa,
Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari
Sumatera.
Agama Islam menjadi salah satu
faktor, mempererat suku-suku Melayu
sejak masuknya agama itu pada abad ke-12.
Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun
merambah ke berbagai corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu.
Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak,
Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak.
Selain itu Thailand, Myanmar juga mempunyai komunitas suku melayu yang
besar di Indochina. Suku Melayu
mendiami kawasan selatan
Myanmar. Selain itu ada pula yang
disebut Melayu Singapura (sudah tentu
terdiri dari Golongan Bumiputera).
Konsep
Nusantara
Konsep Nusantara dalam perspektif
Sejarah Indonesia mengacu ke konsep kenegaraan Jawa di abad ke-13 hingga ke-15.
Raja dianggap penjelmaan dewa. Karena itu, daerah kekuasaannya memancarkan
konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dianggap sebagai contoh. Pada waktu itu
negara di bagi menjadi tiga: Negara
Agung merupakan daerah sekeliling ibukota kerajaan tempat raja memerintah. Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau
Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah
berada di "daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura
dan Bali adalah daerah "mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga
dianggap daerah "mancanegara."
Sementara Istilah NUSANTARA adalah daerah di luar pengaruh Jawa tetapi
masih sebagai daerah taklukan, para penguasanya harus membayar upeti.( Itulah
sebabnya mengapa dalam hal membicarakan
istilah Nusantara dalam Perspektif Sejarah Indonesia, Kerajaan
Sriwijaya tidak begitu berpengaruh
menentukan istilah ini, karena kerajaan ini pada akhirnya berhasil ditaklukan Kerajaan
Majapahit.
Istilah ini diperkuat dengan pernyataan Maha Patih Gajah Mada dalam
Sumpah Palapa: “Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia
Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan
puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa"
(Palapa berarti pula rempah-rempah/kenikmatan dunia).
Untuk memperkuat data, Kitab
Negarakertagama juga mencantumkan wilayah-wilayah
"Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup
sebagian besar wilayah modern Indonesia, ditambah wilayah Malaysia, Singapura,
Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Ditinjau secara morfologi,
kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuna, nusa ("pulau") dan antara
(lain/seberang).
Oleh karena itu dapat disimpulkan, asal kata Nusantara berasal dari bumi
Indonesia. Bahkan Menteri Luar Negeri Indonesia Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja
(1978-1988) mengambil nama Wawasan Nusantara untuk menggambarkan Negara Kepulauan Indonesia. Konsep Wawasan
Nusantara menjadi lambang persatuan wilayah Indonesia antara darat dan laut.
Peranan
Muhammad Yamin
Muhammad Yamin adalah orang yang
mengimpikan Indonesia sebagai “Imperium Nusantara III” setelah Sriwijaya dan
Majapahit. Sekaligus mewarisi istilah
Nusantara hingga sekarang untuk menyebut nama lain Indonesia. Lihatlah buku
yang ditulisnya pada tahun 1945, terbitan
Balai Pustaka tahun 1945, judulnya saja: “ Gajah Mada, Pahlawan
Persatoean Noesantara”. Muhammad Yamin mengartikan Melayu Raya dengan istilah Indonesia Raya.
Soekarno dan Muhammad Yamin mengimpi-impikan
Indonesia berdasarkan Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Menurut
mereka, Indonesia itu adalah wilayah
yang pernah berada di bawah jajahan Belanda, termasuk Papua dan pernah menjadi jajahan Inggeris,
termasuk Serawak, Brunei dan Sabah. Hatta, setuju dengan wilayah-wilayah
jajahan Belanda, tetapi tidak termasuk Papua.
Sangat disayangkan imajinasi Muhammad Yamin dan Soekarno tergurus oleh
perkembangan zaman. Impian untuk menjadikan bangsa ini sebagai sebuah
Imperium Nusantara III setelah Kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya gagal.Kenyataannya secara politik mereka dibatasi oleh dinding-dinding yang
tebal, karena hampir semua negara yang dulunya berada di bawah Kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya telah merdeka.
Dewasa ini pergeseran istilah Nusantara sudah terjadi. Nusantara diartikan identik
dengan Melayu Raya, tidak seperti pengertian Indonesia Raya yang diimpikan Muhammad Yamin. Oleh karena itu Nusantara bagi Indonesia sudah menjadi pengertian
ganda. Nusantara dalam arti tetap berpijak kepada negara kesatuan yang
diimpikan Gajah Mada dan telah
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional (khusus) dan Nusantara dalam pengertian
Melayu Raya (umum) (Opini terkait di.http://dasmandj.blogspot.com dan http://dasmandjamaluddinshmhum.blogspot.com)
Komentar