GERAKAN NASIONAL PEMBUDAYAAN  ZAKAT 

Pandangan Islam terhadap zakat adalah sebagai manifestasi rasa syukur terhadap nikmat atau rezeki yang diberikan Allah. Juga pembersihan jiwa, pembersihan harta, dan pemberian hak Allah, hak masyarakat dan hak orang yang lemah atau dhuafa.
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki orang muslim sesuai ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Potensi zakat di negeri kita yang warga muslimnya mayoritas, sungguh luar biasa besarnya.

Namun karena potensi ini belum dikelola secara baik, maka jumlah warga miskin di negeri ini tetap saja merupakan agenda permasalahan bangsa. Disisi lain karena para muzaki nya tidak terdata dengan baik serta belum terlihat adanya kelembagaan amil yang mumpuni maka konstribusi dari zakat belum berarti bagi usaha pengentasan kemiskinan ataupun perbaikan karakter dan akhlak bangsa Indonesia.
Pembudayaan Zakat
Pembudayaan zakat dimaksudkan agar dibangun tradisi membayarkan zakat sebagai kewajiban azazi bagi setiap muslim, sesuai ketentuan syariah. Membudayakan zakat dapat pula diartikan dengan mendidik, mencerdaskan, mengajak untuk maju dan mencerahkan umat dengan permodelan sistem yang tepat bagi setiap level manajemen pengelolaan zakat.
Pembudayaan zakat akan berhasil jika didukung oleh unsur-unsur berikut :
1)  Semua “Stake Holder” atau pemangku kepentingan yang terkait.
2)  Adanya institusi pengelola zakat atau kelembagaan dengan tata kelola yang baik serta dimpimpin oleh para amil yang arif, adil, dan bijaksana.
3)  Adanya undang-undang pengelolaan zakat yang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.

Kendala yang dihadapi
Pemahaman yang lemah atau minim dari para stake holder tentang ketentuan syariah dan perundang-undangan yang berlaku.
1. Stake holder utama (masyarakat) kurang memahami atau kurang peduli dengan ketentuan syariah serta perundang-undangan tentang pengelolaan zakat. Sejak lahirnya UU No. 38 / 1999, Zakat sudah jadi hukum positif di negeri ini. “Setiap Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat” (UU No. 38 / 1999 pasal 2) Mestinya masyarakat mensyukuri peluang ini dengan membentuk institusi pegelola zakat yang professional, amanah, dan transparan, serta beroperasi sesuai ketentuan syariah pada setiap level manajemen. Namun ternyata masyarakat berlomba-lomba membuat institusi pengelola zakat (Lembaga Amil Zakat) dan kurang memperhatikan ketentuan syariah atau per Undang-undangan.
2. Stake holder kunci (eksekutif dan legislative) juga kurang siap dengan kehadiran UU No. 38 / 1999 tentang pengelolaan zakat. Para anggota Legislatif saat itu, waktunya terlalu sempit dalam menyiapkan UU pengelolaan zakat, karena masa baktinya segera berakhir. Produk yang dihasilkan merupakan undang-undang tentang pengelolaan zakat yang pertama setelah 54 tahun kita merdeka. Wajar kalau terdapat sejumlah kelemahan. Para eksekutif memanfaatkan  kelemahan undang-undang dan juga ikut berebut untuk mengambil dan mendistribusikan uang zakat dengan menggunakan Badan Amil Zakat (BAZ) Nasional ataupun BAZ Daerah.
Disamping itu stake holder kunci (Panja DPR dan Panja yang merupakan wakil pemerintah) telah menghilangkan pula pasal 2 dari UU No. 38 / 1999, sehingga terjadinya pengesahan UU No. 23 / 2011 tentang  pengelolaan zakat yang menyebabkan zakat tidak lagi menjadi hukum positif dinegeri ini.

Solusi yang perlu dilakukan
  1. Undang-undang No 23 / 2011 disinyalir memuat sejumlah pasal-pasal yang tidak sejalan / bertentangan dengan ketentuan syariah , disamping hilangnya pasal 2 dari UU No. 38 / 1999. Zakat tidak lagi menjadi hukum positif bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam. Atas dasar hal-hal tersebut maka perlu adanya orang atau kelompok yang membawa ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi atau “Yudicial Review”.
  2. Mengambil inisiatif untuk melakukan “Gerakan Nasional Pembudayaan Zakat”. Masyarakat sebagai stake holder utama perlu mengambil segala inisiatif yang dianggap perlu agar kajian terhadap pembudayaan zakat bisa terselenggara dengan baik melibatkan semua pihak termasuk pemerintahan, agar diperolehnya kesepakatan bersama yang lebih sesuai dengan ketentuan syariah. Undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan syariah harus digugurkan demi hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum dapat dibuat peraturan daerah (Perda) ditingkatkan Kota/Kabupaten atau wilayah provinsi.Sedangkan dilevel Nasional, dapat dimunculkan peraturan Menteri Agama yang materinya sudah disepakati bersama.
  3. Ormas-ormas Islam diharapkan melakukan kajian secara bersama terhadap materi UU No. 23 / 2011 guna menyamakan persepsi dan menyusun langkah bersama dalam usaha pembudayaan zakat.
  4. Fungsikan masjid-masjid sebagai pusat-pusat ibadah, pusat silaturahmi dan pusat-pusat pengembangan masyarakat . Perlu ada dialog (holaqoh) pada setiap masjid menanggapi rencana kegiatan, agar mereka dapat memberikan konstribusi yang optimal bagi Pembudayaan zakat ini. Koordinasi antar masjid disetiap RW, Kelurahan, Kecamatan dan Kota/Kabupaten perlu diselenggarakan. Institusi atau lembaga pengelola zakat pada tingkatan Kota dan jaringannya dibentuk dalam musyawarah umat yang melibatkan para pengurus masjid yang terkait domisilinya. Idealnya pengelolaan zakat berbasiskan masjid, dan diharapkan masjid juga bersedia untuk mendukung dengan memberikan fasilitas secretariat bagi lembaga Pengelola zakat untuk setiap tingkat dan jaringannya. Disamping itu memberikan dukungan Sumber Daya Manusia untuk amil zakat.
  5. Pemerintah diharapkan mendukung dan ikut membina pembentukan dan beroperasinya lembaga Pengelola Zakat diseluruh Wilayah Republik Indonesia, termasuk diluar negeri. Pemerintah perlu Legowo bahwa dana zakat adalah milik umat, karenanya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat dan bangsa Indonesia. Termasuk kewenangan untuk mengelola dana zakat tersebut. Kalau toh pemerintah diberi kewenangan untuk membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), hendaknya hal itu dikaitkan dengan kewajiban pemerintah sebagai regulator untuk memberikan contoh bagaimana suatu institusi pengelola zakat dibentuk, dibina dan dikembangkan. Personil dari anggota BAZNAS mayoritas diambil dari masyarakat dan hanya sedikit sekali dari unsur pemerintah. Kehadiran unsur pemerintah dalam kelembagaan zakat terkait dengan tugas pokoknya dipemerintahan yang mengurus masalah zakat.
  6. Institusi pengelola zakat yang sudah ada, harus secepat mungkin menyesuaikan diri dengan ketentuan UU No. 23/2011, selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariah. Adalah suatu maslahat jika 18 (delapan belas) LAZ – NAS yang sudah dikukuhkan oleh pemerintah bisa bergabung menjadi 2 (dua) atau 3 (tiga) saja. Institusi pengelola zakat wajib memiliki badan hukum sendiri yang memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sesuai ketentuan syariah. Jika harus berada pada payung hukum suatu ormas Islam, maka ia perlu menjadi Badan Otonom dengan motto : “ Dari umat, oleh umat, untuk keselamatan serta kesejahteraan umat dan Bangsa, dengan payung hukum suatu  Ormas Islam tertentu ”.
  7. Upaya penyempurnaan system pengelolaan zakat harus terus menerus ditingkatkan atau disempurnakan baik melalui peraturan per undang-undangan ataupun melalui Musyawarah, Muktamar, ataupun Kongres Umat Islam yang diprogram secara baik. 
  8. Penegakan hukum atau penindakan terhadap Badan / Lembaga, atau per orangan yang berfungsi selaku Amil Zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang sesuai ketentuan pasal 38 UU No. 23 / 2011.
  9. Agar gerakan pembudayaan zakat ini menjadi Gerakan Nasional, maka perlu ada Inisiatif dari berbagai unsur stake holder khususnya para Ulama, Umaro dan Tokoh-tokoh masyarakat Islam termasuk pengurus masjid untuk menyelenggarakan kajian-kajian tentang pengelolaan zakat dan membangun institusi pengelola zakat serta kelengkapannya pada level Nasional, wilayah provinsi, dan daerah Kabupaten/Kota.
  10. Kelengkapan institusi pengelola zakat antara lain perlu adanya Baitul Mal dan Baitut Tamwil (BMT). Baitul Mal tempat pengumpulan dana untuk dibagikan kepada para mustahik dengan status hibah. Sedangkan Baitut Tamwil adalah lembaga Keuangan (mikro) Syariah yang berfungsi untuk melayani kebutuhan permodalan bagi masyarakat dilingkungannya.


      Basri Mangun
      Cendekiawan Muslim

Komentar