50 Tahun Supersemar (Surat Perintah 11 Maret),Seminar dan Tetap Membangun Bangsa dan Negara Indonesia




Hotel Bidakara, Sabtu, 13 Februari 2016 menjadi momen penting bagi perjalanan sejarah bangsa ke depan. Kenapa tidak ? Di tempat inilah para sejarawan , tokoh militer, tokoh-tokoh yang berdekatan langsung dengan pelaku sejarah, bersedia hadir untuk mendiskusikan tentang Surat Perintah 11 Maret 1966, yang kini sudah 50 tahun berlalu.

Para pembicara yang hadir pada saat itu adalah Peter Kasenda, S.S, Prof.Dr.Taufik Abdullah, Dr.Anhar Gonggong dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri. Sedangkan sebagai Panelis, Dr. Fuad Bawasir (Mantan Menteri Keuangan RI), Subiakto Tjakrawerdaya (Mantan Rektor Trilogi) dan saya sendiri Dasman Djamaluddin,SH,M.Hum (Penulis Buku: “Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar”).

Diskusi ini menarik, karena mencoba melihat sejarah tidak sepotong-sepotong. Melihat sejarah Indonesia secara utuh. Sudah tentu berbicara Supersemar, berbicara tentang dua Presiden RI, Soekarno dan Soeharto. Menampilkan kedua tokoh ini, mencoba melihat sisi-sisi positip untuk membangun bangsa ini ke depan. Jadi tidak melihat suatu peristiwa sejarah berputar-putar tanpa memikirkan masa depan bangsa ini selanjutnya.

Bangsa Indonesia sudah 70 Tahun Merdeka. Adalah hak dari generasi penerus kita mempertanyakan, sudah sejauh mana kemajuan bangsa ini dibandingkan dengan negara-negara lain. Sudah mampukah bangsa ini mandiri? Mengapa bangsa ini masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang belakangan merdeka? Mengapa utang kita terus menumpuk, sementara jika kita melihat perkembangan Tiongkok akhir-akhir ini, negara itu dipuji-puji International Monetery Fund (IMF) karena uangnya akan dijadikan alat tukar internasional di samping dollar AS. Sementara jika kita berkaitan dengan IMF sudah tentu dalam pikiran kita, “berapa besar lagi kita berutang?.”

Pada waktu acara seminar tersebut, saya mencoba memaparkan pandangan saya akan negara yang terus berkembang. Saya mencontohkan Rusia. Pada kunjungan saya bulan Desember 1992, saya menyaksikan sendiri bagaimana rakyat Rusia sangat menghormati para mantan Presidennya yang kemudian makamnya dikawal oleh pasukan Rusia. Hormat mereka akan mantan presidennya patut menjadi contoh bangsa-bangsa di dunia. Melalui penghormatan kepada mantan kepala negara, bangsa tersebut sudah memiliki modal untuk maju ke depan. Itulah mungkin yang terkandung di dalam Pidato Presiden Soekarno, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah).”

Di antara tokoh militer dari Angkatan Darat (AD), yang ikut berbicara adalah Letjend TNI Kiki Syahnakri. Menurut dia, peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tak terlepas dari peranan tokoh terselubung (invisible hand). Bahkan tokoh itu sudah ada sejak Indonesia merdeka tahun 1945.


"Dalam peristiwa kekacauan yang terjadi di republik ini sejak kemerdekaan, saya kira tak lepas dari invisible hand," kata Kiki.

Kalimat Kiki ini mengingatkan akan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Agen CIA telah berbicara dengan Kolonel Maludin Simbolon (Menlu PRRI) dan meminta agar perusahaan minyak AS di Riau diledakkan saja. Tujuannya jika Caltex tersebut dileddakan, AS bisa memakai dalih tersebut untuk masuk ke Indonesia dan menggulingkan pemerintahan Soekarno. Saat itu Simbolon menolak. “Saya masih nasionalis,” ujarnya.

Kesetiaan pada Republik Indonesia memang dipertegas Pimpinan PRRI Ahmad Husein ketika saya menemuinya dua kali di Jakarta dalam keadaan sakit. “Saya bukan pemberontak. Sebagai TNI, kami hanya ingin mengingatkan Bung Karno tidak terlalu dekat dengan PKI.” Oleh karena itu, jika Presiden AS John F.Kennedy mendesak Belanda segera berunding dengan Indonesia dengan catatan kepada Indonesia agar komunis tidak ada lagi di negara ini, sangatlah wajar.

Kembali ke masalah yang dibicarakan Kiki, ia pernah membaca buku, berjudul "Incubus of Intervention: Conflicting Indonesia Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles", perang proksi (war by proxy) kerap terjadi di Indonesia. Pihak ketiga tidak secara langsung menciptakan kekacauan di Indonesia. Dari buku itu pula, tercermin pengaruh Amerika Serikat dalam beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia.

Kiki pun mengaitkannya pada Doktrin Monroe milik Presiden Amerika Serikat ke-5, James Monroe. Doktrin Monroe mengatakan dunia tidak akan sepi dari konflik tapi konflik tidak boleh terjadi di Amerika. Oleh karena itu Amerika menciptakan konflik di luar negaranya.

"Pasti dengan Amerika tidak ingin membuat stabilitas di Indonesia, maka saya percaya tangan-tangan itu bekerja dari awal 1945, jatuhnya Soekarno dan jatuhnya Soeharto," ungkap Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu.

Kiki pun mengimbau agar pemerintah terus waspada akan potensi-potensi kekacauan semacam itu. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menghalangi keterlibatan tokoh terselubung. Kiki yakin, hal itu dapat diatasi jika kekuatan nasional dapat bersatu.


"Utamanya ada di partai politik tapu sayang sekali partai politik nasionalis masih 'sakit', terutama Golkar,” kata Kiki.

Akhirnya Kiki juga sedikit menyinggung masalah Freeport. Menurut saya Kiki Syahnakri tidak bisa melepaskan peran perusahaan tambang AS itu di Papua. Sebagai orang yang bernah di Papua selama empat tahun, bersinggungan dengan MayJen C.I Santoso, mantan Panglima Kodam XVII Cenderawasih, semasa kuliah di FH Uncen, saya ikut mengamininya agar berhati-hati. (Foto: MetroTVNews dan arsip Dasman Djamaluddin)

Komentar